Membuat kita menitihkan air mata, kerap negara kita
dicaplok oleh para koruptor. Para koruptor yang telah melumpuhkan masyrakat
menjadi miskin, tidak mempedulikan hak, yang terpenting dalam dirinya, bagai
mana dirinya bisa merasakan kepuasan terhadap kekuasaan yang diperoleh. Hati
nurani rakyat tidak menyentuh dalam sanubari mereka, sudah tak terbendung lagi
dalam ranah untuk membangun kepuasan dirinya, namun bila kita tengok, tentunya
yang telah mengangkat derajat mereka didepan pablic adalah rakyat, dan
rakyatlah yang membawa kegerbang menuju kursi mewah nan sejuk.
Ihwal dari pada itu tentunya tidak terlepas dari
ranah pendidikan. Kita tengok para politikus kita, semuanya berpangkat tinggi,
dan meraih gelar yang agung. Jarang kita temuai para elit yang berpangkat
rendah dan hanya memiliki ijasah SMA saja, melainkan semuanya berpangkat, berpendidikan tinggi dan mempunyai kewibawaan
yang begitu besar. Pangkat dan derajat dia raih namun perilaku dan tingkahnya
apakahbisa menyesuaikan dengan dirinya !.
Menerabas Akademi Kelas Akhirat bukanlah akademi
yang ghaib, bukan dinisbatkan pada zaman
batu yang sekarang ini, dan bukan hanya Civitas
Academica berlebel agama, melainkan semangat sepiritual dan meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan mereka. Akademi Kelas Akhirat ini, tentunya akademi yang
telah mengabaikan kejujuran. Karakter dia sebagai orang yang telah mengeyam
pendidikan tinggi terbuang sia-sia. Padahal indikator negara kita akan maju
bila mana pendidikan kita maju dibarengi dengan pendidikan karakter. Pendidikan
yang menjadi tonggak utama dalam mencapai keberhasilan.
Segala bentuk organisasi, instansi, perguruan
tinggi, tentunya yang paling diutamakan adalah kejujuran. Dalam sebuah wadah
apabila kejujruan telah menyelimuti semuanya akan berbuah manis. Tidak ada lagi
Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Aman dan damai. Kejujuran yang menjadi selogan utama mereka, ketika kampanye
berlangsang mendengung-dengungkan kejujuran. Ambisa untuk menyatakan kejujran.
Sayangnya semuanya berbalik arah hanya menjadi selogan manis saat berkampanye
didepan pablic.
Tugas dan kewajiban mereka perlu diperhitungkah. Apalah
daya, pendidikan adalah suatu bentuk kerja keras yang begitu besar untuk
membangun bangsa ini dalam mencapai bangsa yang berkarakter. Pendidikan
berperan aktif(Kooperatif, produktif, dan penuh ilmiah) dalam segala bidang.
Tidak terlepas dari itu tentunya semangat sepiritual yang begitu tinggi perlu
ditingkatkan dan kecerdasan Emosional (ESQ) harus ditekankan. Bukan hanya
sekadar kecerdasan intelektual yang kerap didengung-dengungkan melainkan
sepiritualitas, tingkat keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah SWT.
Lazimnya, semangat sepiritual yang begitu tinggi
dengan mengangkat kejujuran sebagai modal utama tidak terselimuti. Dewasa ini,
merosotnya pendidikan dan moralitas semakin menggelora, dalam paparan yang ada
kerap berkontradiktif terhadap sikap yang ditunjukan mereka pada kita, alhasil
perlunya revolusi mental yang matang dalam membangun dunia pendidikan dan
penekanan pada pendidikan karakter.
Perguruan tinggi dalam meningkatkan soft skills. Tidak terlepas dari namanya
kecerdasan intelektual (IQ), semuanya dihadapkan pada sikap ilmiah, dan
rasional. Tak kunjung pula sebagai makhluk yang memakan bangku pendidikan,
menghasilakan para jawara-jawara yang akan membangaun bangsa ini, dengan penuh
dedikasih yang tinggi dan tidak membuat gaduh dalam kinerja. Sementara itu,
sayangnya semangat sepiritualitas yang menipis, tidak merasa takut pada yang mempunyai
dan menciptakan bumi langit ini, dan tingkat kecerdasan emosional yang tidak
terkontrol. Berujar pada semua itu timbulah ambisi akan kepentingan dirinya
yang menyelimuti.
Seolah-olah semangat sepiritul yang tinggi menjadi
urusan pribadi masing-masing. Kita tengok pada paparan lingkungan universitas,
bila mana suatu universitas menjalin silaturahmi yang sangat erat akan
melibatkan segenap jajaran dan lingkungan universitas harmoni. Bila mana sudah
waktunya untuk menjalankan sholat, padahal pihak Universitas sendiri yang sudah
menyediakan surau untuk melangsungkan sholat berjamaah, namun semangat untuk
menjalankannya menjadi milik pribadi, sampai kedalam jajaran tingkat yang
paling tinggi, alhasil semuanya akan berjalan sendiri-sendiri tidak mempedulikan
kiri-kanan mereka.
Memang kebenaran sulit untuk kita terabas. Ilmuwan
besar fisikawan abad ke-20, Albert Einstein. Mengatakan, ”Kebenaran itu adalah
hakikat dan selamanya tidak pernah akan diketahui, yang kadang mewujudkan dalam
bentuk materi dan kadang dalam bentuk energi” itulah yang saya sebut tuhan.
Sebagai makhluk ciptaan sang kuasa, pada hakikatnya kebenaran itu bukanlah
milik kita namun kebenaran adalah milik sang kuasa. Namun demikan percikan yang
sudah dilakukan oleh Nabi agung kita, nabi akhir zaman tentunya menjadi
butir-butir untuk kita telaah dan tiru. Kelak akan menjadi suri tauladan bagi
generasi selanjutnya.
Acap kali kita dihantam oleh pergulatan yang kian
membabi buta, kadang kita terlepas dari semangat sepiritual, boleh jadi kita
akan terus dihantui oleh persoalan-persoalan yang terus berdatangan. Dan solusi
semuanya itu akan berlabuh pada agama, dimana semangat sepiritual untuk
menjalankan perintah, dan menjauhi larang itulah yang dinamakan sebagai taqwa.
Dalam pembuka kitab taisirul khallak, sebagai pembukanya adalah meningkatkan
ketaqwaan kita pada sang khalik, maka hati dan nurani kita terketuk, dan
bergerak akan berbuah manis.
Selaras dengan, Wayne Wdyer yang dikutip oleh Dr.Ibrahim
Elfikiy dalam bukunya, terapi berpikir
positif, mengatakan. “Dipintu
sepiritual terdapat jalan keluar dari semua persoalan”. kita tahu bahwa
semangat sepirutual yang begitu tinggi akan membuka jalan keluar dalam segala
urusan apapun. Melaikan tidak membikin riuh dari segenap persoalan. Bersikap
positif dan meningkatkan ketaqwaan dalam beribadan menjadi jalan satu-satunya.
Dengan demikian maka batiniyah dalam menjalani kehidupan ini akan menimbulkan
rasa ketenteraman.
Tidak terlepas dari itu iklim demokrasi yang sedang
carut-marut, korporasi, konspirasi yang terselubung. Tidak berbuah dalam
menjalankan hak dan kewajiban mereka sebgai pablic figur, hanya saja menjadi
benih yang tidak berbuah untuk kemaslahatan masyrakat. Begitupun demokrasi yang
terjadi ruang yang digerakan telah berliku dan tidak berjalan sesuai koridor
yang telah menjadi hak dan tanggung jawab mereka. Hanya saja menjadi manusia
yang berargumentasi bila mana ada tumpukan uang kertas dimejanya.
Kekahawatiran yang mendalam, bila mana perguruan
tinggi yang akan mengeluarkan pentolan-pentolan politisi dengan menipisnya
semangat sepiritualitas. Semuanya akan rentan dalam menghadapi persoalan dunia,
tak kunjung padam dalam menghadapi persoalan, untuk kemaslahatan masyrakat.
Melainkan hanya untuk kepuasan dirinya. Robert Maynard Hutchins, rektor Universitas
of chiago tahun 1935, mengatakan. “Maka aku akan memberi nasihat bagi kalaian
tentang bahaya dan kesulitan yang kalian akan hadapi didepan. Masalahnya
terutama, menurut pendapatku, bukanlah masalah ekonomi atau keuangan, yang
paling aku khawatirkan adalah moral kalian”.
Selain itu keadaan dinamika perguruan tinggi kita
berada dalam semangat sepiritual yang menipis. Baik dari segi pengajar maupun
anak didiknya. Dilematis sebenarnya tingkat perguruan tinggi kita hanya mampu
mengandalkan intelektual saja, tidak dibarengi dengan sepiritualitas dan
tinggkat emosional yang tinggi. Seyogyanya ini menjadi tugas bagi civitas acadecima untuk bersama-sama
meningkatkan ketaqwaan dan keimanan mereka. Dalam jam-jam kosong alangkah
baiknya untuk menjalankan aktivitas-aktivitas yang bersifat kerohanian untuk
meningkatkan ketaqwaan baik dari pengajar maupun pelajar.
Sebab dengan seperti itulah kita akan memahami dan
bisa memudahkan dalam persoalan-persoalan yang ada. Seorang dosen tidak akan
mengeluh lagi dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada,alhasil seandainya
dosen tidak pendapatkan penghasilan yang lebih memuasakan, tidak begitu
terpikirkan, melainkan yang terpenting adalah meningkatkan anak didiknya agar
lebih berprestasi baik dikancah diluar maupun didalam. Sikap dia sebagai
pengajar tetap propesional dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar. Tetap
bersyukur apabila penghasilan yang didapat tidak sesuai untuk menutupi
kebutuhannya. Tetap kembali, tidak membikin riuh dalam dirinya yang akan
menimbulkan seters, dan tidak dapat mencari titik temu dalam persoalannya.
Kita akan terus dihantui rasa terentam, apabila civitas academica baik yang ada dalam
tingkat jajaran yang paling tinggi dan yang paling rendah dapat menjadi sauri
tauladan. Dan tentunya peserta didik bukan hanya sekadar meningkatkan kecerdasan intelektual saja yang
terus dikembangkan melainkan semangat sepiritualitas yang tinggi. Sehingga
akademik bisa mengeluarkan cendikiawan-cendikianwan dan pemikir-pemikir yang
bermoral dan bermartabat. Alhasil semua yang didapat bukan hanya sekadar
mencari materi dan jabatan, melainkan kecintaan untuk memajukan bangsa ini. Wasalam